Ch Aan: Tanah Adat Kesultanan Deli Harus Dikembalikan Ke Pemiliknya

 

MEDAN //Nusantaranews24.com

 

Sidang pemeriksaan Bukti (Novum) atas permohonan Peninjauan Kembali (PK) antara Kesultanan Deli dan PTP II telah dilaksanakan 5 April lalu.

 

Ini merupakan kelanjutan proses peradilan atas gugatan No. 245 tahun 2018 Kesultanan Deli (Tengku Osman Ganda Wahid) kepada PTP II dan tergugat lainnya terhadap lahan seluas 24,21 hektare di Jalan Meteorologi, Desa Sampali, Kec. Percut Seituan, Kabupaten Deli Serdang.

 

Atas kasus itu, pengusaha asal Aceh Ch Aan Oebit yang juga seorang arsitek dan bergerak di bidang properti perhotelan, kuliner serta pebisnis cigar memberi dukungan atas proses hukum yang berjalan antara Kesultanan Deli dan PTP II.

 

Kepada wartawan di Medan, Jum’at (14/4) Ch Aan mengatakan, apapun hasil keputusan Pengadilan, agar dapat memberi rasa keadilan bagi masyarakat, khususnya Kesultanan Deli, mengingat objek sengketa adalah tanah adat milik Kesultanan Deli yang diberikan hak konsesi oleh Kesultanan Deli kepada Deli Cultuur Maatschaap (masyarakat adat Deli) berdasarkan Akte Van Consesie (perjanjian) Kebun Mabar yang dibuat di Medan 28 Juli 1898.

 

Sesuai pasal satu (1) akte van consesie kebun Mabar, tanah tersebut dipinjamkan Kesultanan Deli kepada masyarakat adat Deli dengan jangka waktu 40 tahun, sejak 28 Juli 1898 dan berakhir 23 Juli 1938.

 

Dengan tidak diperpanjangnya perjanjian kebun Mabar, maka status kepemilikan dan penguasaan objek sengketa kembali kepada Kesultanan Deli, dan tercantum dalam pasal 23 akte van consesie yang berbunyi, “Apabila konsesi berakhir dan jika tidak diperbaharui maka semua bangunan – bangunan yang didirikan oleh pembuat konsesi dalam tempo 1 tahun harus dikosongkan oleh pembuat konsesi”.

 

Disebutkannya, pada 28 Juli 1938 Kesultanan Deli menguasai tanah tersebut dan mengajak masyarakat untuk bercocok tanam.

 

Pada tahun yang sama berdasarkan peraturan pemerintah nomor 14 tahun 1968 tentang pendirian perusahaan negara perkebunan dan diubah dengan nomor 44 tahun 1973 menjadi Persero, dan pengambil alihan lahan tersebut pada 1995 dengan menerbitkan sertifikat Hak Guna Usaha atas nama PT Perkebunan IX (Persero) HGU No. 13 sampali 3 Februari 1995, bahwa sertifikat tersebut telah berakhir sejak 9 Juni 2000.

 

Pada 2022, Kakanwil Pertanahan Sumut menerbitkan surat keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 42/HGU/BPN /2022 memperpanjang sertifikat HGU tersebut dengan No. 110/sampali 20 Juni 2003.

 

Pasal 18B ayat (2) jo Pasal 28 I ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan – kesatuan masyarakat hukum adat serta hak -hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan RI yang diatur dalam undang – undang”.

 

Dikatakannya pula, mengutip pidato Presiden Joko Widodi saat diberi gelar, Tuanku Seri Indra Utama Junjungan Negeri di Istana Maimoon pada 7 Oktober 2018, menyebutkan, “Energi utama adalah kebudayaan dan kepribadian bangsa modal untuk kemajuan”.

 

Maka, kata dia, proses dan prosedur hukum yang dilakukan merujuk pada pidato Pesiden dan untuk transparansi penegakkan hukum serta menjaga nilai-nilai budaya luhur yang ada di tengah tengah masyarakat Medan, Sumatera Utara.(Red/RH)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *